Bisnis.com, JAKARTA — Memasuki usia setengah abad, penyedia jasa layanan taxi, PT Blue Bird Tbk. (BIRD) mengungkapkan telah melakukan sejumlah transformasi bisnis. Transformasi bisnis yang dilakukan tersebut tidak lepas dari penggunaan teknologi. Kalau boleh diilustrasikan, Wakil Direktur Utama Blue Bird Adrianto Djokosoetono menyebutnya sebagai mobility company with technology backbone.
Dimulai dari 25 mobil pertama yang dimiliki dan diimpor oleh emiten berkode saham BIRD tersebut, teknologi paling awal dan sederhana yang diinstal adalah air conditioner atau AC. Perlahan, seiring dengan kemajuan zaman teknologi untuk mobil yang diaplikasikan oleh Blue Bird juga beragam dan diperbarui. Dengan demikian, teknologi tersebut juga makin memudahkan untuk melakukan kontrol dan maintenance.
Artinya, saluran digital yang dibangun memungkinkan pengguna untuk merencanakan perjalanan, melakukan reservasi layanan, dan serta membayar berbagai jenis layanan mobilitasnya. Multi channel menawarkan keberagaman akses untuk mendapatkan layanan BlueBird melalui aplikasi MyBB yang telah diperbarui, layanan telepon, kolaborasi strategis bersama mitra, serta armada di pangkalan. Kemudian, multi payment yang menawarkan keberagaman pilihan metode transaksi dengan memperluas
kolaborasi dengan berbagai berbagai mitra pembayaran. Hingga multi product menawarkan keberagaman jenis produk dan layanan Group Bluebird untuk mendukung kebutuhan pelanggan yang beragam.
Namun tentunya perkembangan dan transformasi teknologi yang telah dicapai tersebut juga harus bisa dibarengi dengan pengembangan ekosistem hijau. Tuntutan global dan nasional untuk teknologi hijau sudah menjadi salah satu strategi bisnis yang harus diperhitungkan. Salah satunya, dengan keluarnya Perpres No.55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai bertujuan agar semakin banyak penggunaan kendaraan listrik di masyarakat. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada akhir tahun lalu menyebutkan populasi mobil listrik sudah mencapai angka di atas 1.500 buah.
Inisiatif untuk membangun Electric Vehicle Ecosystem sejalan dengan agenda prioritas pemerintah Indonesia dalam G20 Summit terkait transisi energi berkelanjutan.
Layanan mobil listrik pun menjadi salah satu yang tak luput dari perhatian BIRD. Blue Bird akan mendatangkan 50 unit. Kedatangan unit mobil listrik tersebut akan menambah kepemilikan menjadi total sebanyak 110 unit.Rencananya unit kendaraan listrik tersebut akan dioperasikan di Bandung, Tangerang, dan Jakarta.
Investasi BIRD untuk mobil listrik ini juga tergolong besar dengan setiap unitnya berkisar antara Rp600-Rp650 juta. Mahalnya investasi tersebut juga disebutnya sebanyak kali lipat dibandingkan dengan mobil konvensional.
“Ada memang mobil listrik yang harganya juga lebih murah tetapi kapasitasnya sangat kecil. Bahkan kapasitas penumpang bisa hanya dua kursi. Belum lagi hanya bisa menempuh jarak pendek dengan sekali diisi ulang,” jelasnya.
Andre pun memproyeksikan beban biaya operasi bisa turun sebesar 40 persen dari penggunaan mobil listrik tersebut. Angka ini masih bersifat kalkulasi dan masih dikategorikan sebagai proyek investasi jangka panjang. Lantaran belum mencapai titik impas atau Break Event Point (BEP).
“Kami tidak melihatnya saat ini untuk profit taking. Tapi untuk ke-depannya. Kami meyakini perlu ada implementasi kendaraan listrik. Sehingga kita tahu persis di atas kertas menjadi realisasinya seperti apa,” terangnya.
Pada tahun depan, perusahaan yang identik dengan warna biru tersebut juga masih menambah kepemilikan unit mobil listrik. Asumsinya bahwa pada tahun depan harga dan kapasitas mobil listrik jauh lebih baik.
Bluebird telah memulai penerapan armada listrik untuk layanan taksi. Dimulai dengan peluncuran 25 unit BYD E6 A/T dan 4 unit Tesla Model X 75D sejak 2019 di Jakarta. Jumlah armada mobil yang dimiliki oleh Bluebird mencapai lebih dari 24.000 unit, sementara untuk mobil listriknya mencapai 60 unit, 30 unit untuk taksi dan 30 unit untuk rental.
Hingga saat ini, total ada empat model mobil listrik Bluebird, yaitu Tesla X 75D untuk e-Silverbird, BYD E6 dan BYD T3 untuk e-Bluebird serta Hyundai Ionic dan Kona untuk kendaraan sewa jangka panjang Goldenbird.
Selaras dengan rencana penambahan unit mobil listrik, BIRD juga berencana menginstal Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap sebagai sumber energi fasilitas charging station yang telah dimiliki. Targetnya untuk bisa menyediakan energi bersih dari hulu hingga hilir yang bisa mendorong ekosistem E-BlueBird.
“Jadi dari charging station yang ada kita rencanakan untuk instalasi solar panel. Sehingga bukan hanya emisinya nol tapi energinya dari energi baru terbarukan,” ujarnya.
Rencana ekosistem listrik ini sebetulnya sudah ditargetkan pada 2020 lalu. Meski demikian, implementasinya baru akan dilakukan pada 2023 mendatang. Emiten berkode saham BIRD tersebut, saat ini sudah memiliki sebanyak 13 Charging Station di Pool Blue Bird di Mampang.
PT Blue Bird Tbk. sudah memasuki tahun ketiga menggunakan armada mobil listrik.
Bintarti A. Yulianto, selaku VP Teknik Blue Bird menjelaskan salah satu fasilitas yang sudah dipersiapkan menangani seluruh kendaraan listriknya, ialah dengan menyediakan teknisi khusus.
Bluebird juga memiliki bengkel mandiri EV. Jadi fasilitas itu dianggap setara dengan kemampuan bengkel yang dimiliki dealer.
“Kita juga termasuk bengkel mandiri untuk electric vehicles,” ungkapnya.
Bluebird melakukan servis per 7.500 kilometer dan kelipatannya. Meskipun tidak sama dengan dealer ATPM, tetapi tetap mendapatkan jaminan karena dianggap mampu atau setara dealer.
Selama tiga tahun mengoperasikan mobil listrik, Bintarti mengatakan salah satu kendala yang masih dihadapi adalah spare part. Sebab, BYD dan Tesla belum memiliki agen tunggal pemegang merek di Tanah Air.
“Memang kendalanya pada saat misalnya kecelakaan lampu pecah, ini semuanya masih impor. Jadi pasti ada waktu tunggu,” kata dia.
Sementara untuk di BYD memang lebih siap, kalau Tesla karena jumlahnya sedikit, membutuhkan waktu yang cukup lama,” ungkapnya.
Sementara itu, untuk servis rutin di bengkel, Bluebird juga sudah memiliki sistem Internet of Thing (IoT). Jadi, sistem ini bisa memantau kondisi komponen armada dari seluruh pool di Indonesia secara real time. Hal yang bisa diketahui, antara lain indikator tarif, GPS dan sistem navigasi, sistem koordinasi, data operasi (jarak tempuh, kecepatan, dan penghasilan pengemudi). Pengemudi juga akan diberi informasi terkait komponen yang butuh perhatian khusus melalui layar di masing-masing armada, seperti baterai dan temperatur.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang menilai saat ini masyarakat belum terlalu tertarik menggunakan kendaraan listrik. Menurutnya, terdapat sejumlah prasyarat agar transisi menuju kendaraan beremisi rendah bisa menarik perhatian masyarakat.
Penyediaan infrastruktur kendaraan listrik hingga regulasi limbah baterai dinilai harus siap terlebih dahulu. Saat ini, Deddy menilai prasyarat tersebut belum siap.
“Apakah infrastruktur mobil listrik sudah siap [SPKLU, bengkel dan lain-lain]? Regulasi limbah baterai [kendaraan listrik] sudah siap? Saya pikir belum siap semua, jadi masyarakat masih kurang tertarik,” terangnya.
Deddy menyebut apabila fasilitas-fasilitas seperti Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) maupun bengkel kendaraan listrik belum terealisasi, maka masyarakat akan sulit untuk berpindah menggunakan kendaraan listrik.
Di sisi lain, harga kendaraan listrik khususnya mobil saat ini masih mahal dan baru hanya bisa dibeli segelintir orang. Untuk itu, Deddy menilai mobil listrik menjadi tidak menarik kecuali pemerintah memberikan “penawaran” yang menarik.
“Mobil listrik tidak menarik, kecuali pemerintah ada insentif pasti menjadi menarik,” tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini :
Bergabung dan dapatkan analisis informasi ekonomi dan bisnis melalui email Anda.